Serombongan tamu penting bersama Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda berkunjung ke Pantai Karapyak, Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jumat (2/5). Enam orang gadis berkebaya merah menyambut kedatangan mereka, ditemani empat pria yang memegang payung.
Keenam gadis itu meliuk mengikuti irama musik sunda dan mengusung lodong (bambu penyimpan air) di kepala mereka. Setelah 10 menit berlalu, mereka menyudahi tariannya. Jika saja lodong-nya tidak pecah. Keenam gadis itu akan mencuci tangan dan kaki para tamu penting tersebut sebagai tanda penghormatan. Karena tarian yang mereka bawakan memang dimaksudkan sebagai tarian penyambutan bagi para tamu penting yang datang ke Ciamis.
Tidak banyak orang Ciamis yang tahu tentang tarian ini. Namanya pun tidak begitu dikenal, karena Tari Kele ini memang bukan tarian tradisional yang diciptakan oleh leluhur Ciamis. Adalah Neng Peking yang tertarik menciptakan tarian ini karena di Ciamis belum ada tarian khas yang mencirikan daerahnya.
Tarian ini digarap oleh studio Titik Dua dari Ciamis, milik koreografer, Rachmayati Nilakusuma, atau yang akrab disapa Neng Peking itu. Tarian ini digarap sejak dua tahun yang lalu atau tepatnya pada 2006. Menurut Neng Peking, dirinya perlu waktu satu tahun untuk menciptakan tarian ini.
Saat pertama kali dipertontonkan kepada masyarakat sambutannya masih dingin. "Mereka masih memandang aneh dan heran saat menyaksikannya," tutur lulusan Akademi Seni dan Tari Indonesia (ASTI) Bandung tahun 1989 itu
.
Dalam memperkenalkan Tari Kele, Neng Peking tidak segan untuk datang ke desa-desa di Kabupaten Ciamis. Dia berusaha mensosialisasikan tarian ini agar bisa diterima masyarakat. Dia mengungkapkan bahwa saat ini baru beberapa desa di Ciamis yang sudah menggunakan tarian tersebut untuk menyambut tamu.
Tari Kele memiliki makna penyambutan dengan mensucikan tamu-tamu yang datang berkunjung. Istilah kele itu sendiri berarti bambu atau juga disebut lodong yang berfungsi untuk mengambil nira di kalangan masyarakat sunda.
Jumlah penari dalam tarian ini biasanya tidak terbatas. ''Tergantung tempat. Tapi biasanya berjumlah enam orang,'' ungkap wanita kelahiran Sumedang 13 Januari 1966 ini. Menurut Neng Peking biasanya para penari permpuan ini dipasangkan dengan empat orang pria yang membawa dongdong atau tempat untuk menyimpan hasil bumi.
Ide tarian ini diadaptasi dari upacara adat Nyangku di daerah Panjalu Kabupaten Ciamis. Upacara Nyangku melibatkan sembilan perempuan berbaju adat warna putih. Di pagi hari mereka mengambil air dari sembilan mata air yang ada di sekitar situ di Panjalu. Air itu kemudian dimasukkan dalam satu ruas bambu. ''Bambu tersebut dibawa dan disimpan di atas kepala. Lalu para perempuan ini berjalan beriringan menuju Alun-alun Panjalu,'' papar ibu dua anak ini.
Menurut penilaiannya, saat ini popularitas Tari Kele di Kabupaten Ciamis belum begitu tinggi. ''Baru sebagian kecil masyarakat Ciamis yang mengenal tarian ini,'' ungkap dia. Tarian ini malah kerap dipertontonkan di luar daerahnya semisal kota Bandung dan daerah lainnya dalam acara-acara budaya. Dia menganggap masyarakat Bandung memberi sambutan lebih positif terhadap tarian ini. Tapi dia sebagai pencipta sekaligus koreografernya sangat bahagia bisa memberikan sesuatu yang terbaik bagi Ciamis, utamanya dalam bidang kesenian.
Selain Tari Kele, ada juga kesenian lain yang dikembangkan Neng Peking, yaitu Bebegig. ''Kesenian ini belum terangkat di Ciamis,'' ujar dia. Neng Peking berharap saat bupati Ciamis yang baru nanti terpilih bisa menerima dan memasyarakatkan kesenian Tari Kele dan Bebegig. Sehingga masyarakat dapat mengenal kesenian ini sebagai ciri khas dari Kabupaten Ciamis. n yurri erfansyah
Sumber:
Republika 10 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar